Pengertian al-Qur’an

Manna’ Khalil al-Qattan menjelaskan sebuah definisi umum tentang al-Qur’an yang menurutnya telah secara populer diberikan oleh para ulama. Ia menerangkan bahwa al-Qur’an adalah “Kalamullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang membacanya merupakan ibadah”. Definisi ini merupakan pengertian yang paling sederhana tentang al-Qur’an. Dengan mengacu kepada definisi ini, sebagai konsekuensinya, sabda Nabi Muhammad yang disebut dengan istilah hadis berada di luar lingkup pengertian ini, begitu pula dengan hadis qudsi yang meskipun inti pesannya merupakan wahyu Allah akan tetapi redaksinya berasal dari Nabi Muhammad sendiri. Aspek pembacaan al-Qur’an yang menjadi nilai ibadat, seperti diungkapkan dalam definisi di atas, mendapatkan bentuknya dalam bacaan al-Qur’an yang dibaca di kala seseorang melakukan salat. Begitu pula porsi pembacaan al-Qur’an yang dilakukan di luar salat akan diberikan pahala pembacaannya sebagai amalan sunnah. Sakralitas yang timbul sebagai efek pembacaan al-Qur’an yang berdimensi ibadah ini, menurut Qattan, jelas-jelas berbeda dengan pembacaan hadis-hadis Nabi dan hadis qudsi —yang pada gilirannya mengeluarkan dua kategori terakhir tadi dari lingkup batasan al-Qur’an meskipun sama-sama diungkapkan melalui penuturan Nabi SAW dan memiliki unsur ilahiyah yang bersumber dari wahyu.

Sebuah penjelasan menyangkut definisi al-Qur’an yang lebih detail diungkapkan oleh Subhi al-Salih sebagai kesimpulannya dalam membahas multi-varian nama yang diberikan kepada al-Qur’an beserta akar kata yang menjadi dasar dan arti yang dikandungnya. Ia menegaskan bahwa al-Qur’an —dengan nama apapun ia disebut— adalah kalam yang memiliki mukjizat, diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW, tertulis di dalam lembaran-lembaran mushaf, diriwayatkan secara mutawatir, dan yang membacanya merupakan ibadah. Definisi ini, menurutnya adalah pengertian tentang al-Qur’an yang sepenuhnya disepakati baik oleh mutakallimin, fuqaha, maupun para ulama yang menjadi pakar bahasa Arab. Kecenderungan untuk memahami al-Qur’an sebagai kalamullah yang tertulis dalam mushaf, seperti diungkapkan dalam definisi Subhi Salih di atas, pada gilirannya menjadikan al-Qur’an melulu difahami sebagai sebuah teks. Konsekuensinya, kajian ulama muslim terhadap al-Qur’an lebih difokuskan pada kajian tekstual di mana ayat-ayat al-Qur’an dituliskan secara resmi pada Mushaf Usmani. Kenyataan ini sedikitnya mereduksi problematika yang menyangkut kenyatakan historis bahwa al-Qur’an pada tahap-tahap awal turunnya merupakan diskursus, ketika ayat-ayat al-Qur’an turun sebagai respon dan jawaban terhadap persoalan-persoalan yang diajukan pada zamannya. Pemahaman tentang al-Qur’an sebagai discourse yang merespon fenomena sosio-historis yang terjadi dalam masyarakat Arab selama kurun waktu kurang lebih dua puluh tiga tahun yang menandai periode pewahyuannya ini menempati bagian porsi pembahasan yang relatif kecil bila dibandingkan dengan kajian yang menyoroti al-Qur’an sebagai teks. Jika kita melihat 6 kategori utama seperti yang diajukan oleh Jalaluddin al-Bulqini (lihat klasifikasi kajian al-Qur’an 2), maka hanya aspek nuzul yang mengkaji al-Qur’an sebagai diskursus, sementara lima kategori utama lainnya merupakan kajian tektual.

Tinggalkan komentar