Pendekatan Kritik Kontekstual melalui Ilmu-ilmu Sosial

Memahami Makna Konteks
Dalam pendekatan kontekstual, konteks yang dimaksud dari sebuah kejadian, kata, paradigma, perubahan, atau realitas sejenisnya adalah “situasi dan kondisi yang mengelilingi sesuatu.” Makna konteks dalam ilmu bahasa mengandung 2 macam arti: (1) sekeliling teks atau percakapan tentang sebuah kata, kalimat, peralihan atau turn (yang disebut pula co-text), dan (2) dimensi situasi komunikatif yang relevan guna memproduksi atau menyempurnakan sebuah diskursus. Dari dua macam makna tadi, maka beberapa arti khusus yang menandai definisi istilah ini secara terminologis dapat dijelaskan berdasarkan spesifikasi bidang ilmu yang memakainya. Makna konteks dalam ilmu komunikasi, linguistik, dan discourse analysis; misalnya, cenderung diartikan sebagai cara-cara para partisipan menentukan dimensi relevan situasi yang komunikatif dari sebuah teks, percakapan, atau pesan, seperti setting (waktu, tempat); aktivitas yang berlangsung (misalnya, makan malam keluarga, perkuliahan, debat parlemen, dll); atau fungsi partisipan dan peranannya (misalnya pembicara, teman, wartawan, dll); serta tujuan, rencana/niat, dan pengetahuan partisipan.
Konteks dapat pula dibedakan dari dua sudut pandangan yang berbeda menyangkut sebuah peristiwa. Dalam hal ini konteks pembicara di satu sisi, dan konteks peserta atau komunikan di sisi lain, keduanya dapat dilihat dari dua sudut pandang yang berbeda. Konteks yang berada di sekeliling pembicara atau penulis secara tipikal mengontrol bagaimana sebuah diskursus dapat disesuaikan dengan situasi sosialnya, yaitu dengan cara membedakan gaya penuturan: bagaimana sebuah kata diucapkan, misalnya. Sementara itu, konteks yang berada di sekeliling penerima mengontrol bagaimana partisipan mengerti sebuah perbincangan, seperti bagaimana fungsi, peranan, tujuan, dan pengetahuan, atau ketertarikan mereka terhadap perbincangan tersebut berpengaruh terhadap pemahaman yang mereka dapatkan.
Dalam rangka menarik relevansi penerapan pendekatan kontekstual dalam penelitian ilmiah yang kita minati, sebut saja dalam studi kitab suci misalnya, pendekatan konteks mengindikasikan terjalinnya hubungan harmoni antara ayat-ayat kitab suci atau potongan bagian teks yang tengah dikaji terhadap apa yang harus diikuti oleh makna skriptural dalam menentukan makna yang dipilih dalam menjelaskan hubungan yang erat antara makna itu dengan ayat yang ditafsirkan. Inilah yang disebut sebagai kaidah “teks dalam konteks”. Dalam hal ini bisa juga dipahami bahwa konteks kitab suci juga semestinya mengikuti maksud dan tujuan sebagaimana dipahami oleh penulis asli terhadap sebuah pandangan dalam menyampaikan kebenaran skriptural kepada pendengarnya.

Kronologi Historis dan Setting Sosial 
Dari sini, kita bisa menarik pembahasan lebih dalam lagi dalam menyelami studi al-Qur’an dan ilmu tafsir, di mana arti penting penerapan pendekatan kontekstual dalam bidang kajian Tafsir Hadis menempati posisi krusial. Asbab nuzul atau peristiwa yang menjadi latar belakang sejarah dan setting sosial sebuah ayat merupakan elemen penting dalam tafsir dalam menjelaskan fenomena hidup (the living phenomenon) dari sebuah diskursus dalam proses pewahyuan al-Qur’an. Oleh karenanya, selain secara tekstual tertuang dalam mushaf, atau apa yang dikonsepsikan M. Arkoun sebagai korpus resmi tertutup (Arkoun 1994:35-40), al-Qur’an memiliki fenomena hidup sebagai diskursus selama kurun masa pewahyuannya yang berlangsung sekitar 23 tahun lamanya. Al-Qur’an sebagai diskursus ini menandai periode awal Islam sebelum kemudian teks al-Qur’an disepakati secara resmi pada masa pemerintahan khalifah Usman RA, yaitu ketika al-Qur’an dibukukan ke dalam sebuah teks baku dan mushaf yang resmi yang mengakhiri pertentangan yang ada terhadap beragam persoalan tentang variasi bacaan ketika itu. Mushaf Usmani inilah yang menjadi mushaf standar dan dilestarikan hingga saat ini.
Membuka kembali al-Qur’an sebagai diskursus yang berlangsung pada saat pewahyuannya dianggap sebagai cara yang tepat dalam menilai arah yang tepat berkenaan dengan penetapan hukum dalam syariat, begitu pula dalam menilai hukum-hukum yang bersifat partikular, karena bisa jadi sebuah lafazh menunjuk sebuah karakter umum, sementara latar belakang turunnya ayat tertentu menjadi argumen yang mengkhususkannya. Tentang asbâb al-nuzûl, pentingnya ilmu ini untuk diketahui oleh siapa saja yang berniat menafsirkan al-Qur’an disebutkan dengan jelas dalam pernyataan al-Wahidi, bahwa tidaklah mungkin seseorang menafsirkan al-Qur’an jika ia tidak berpegang pada kisah dan penjelasan berkenaan dengan turunnnya. Tokoh lain seperti Ibn Taymiyya juga menjelaskan bahwa mengetahui sebab-sebab turunnya ayat akan membantu dalam memahami ayat itu, karena dengan mengetahui suatu konteks (sabab) pada gilirannya akan menurunkan pengetahuan tentang teks (musabbab) (Suyuti 1979: i, 29).
Pentingnya asbab nuzul dalam memahami al-Qur’an, sebagaimana diungkapkan oleh para pakar tafsir di atas, adalah karena al-Qur’an turun dalam situasi kesejarahan yang konkret. Al-Qur’an merupakan respon Tuhan terhadap situasi Arabia pada zamannya. Respon itu terekan di sana sini, bahkan bukan saja dalam tradisi kenabian yang menggambarkan bagaimana sebuah peristiwa berpengaruh terhadap turunnya malaikat dalam membawa pesan Allah sebagai jawaban bagi persoalan yang dihadapi. Gambaran mengenai konteks historis tentang turunnya ayat-ayat al-Qur’an dapat dilihat dalam literatur asbâb al-nuzûl, seperti karya Wâhidî yang berjudul Asbâb al-Nuzûl, ataupun karya Suyuti Lubab al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl.

Konteks Susastra
Pertimbangan terhadap konteks juga memegang peranan penting dalam kajian al-Qur’an, terutama dalam menelaah redaksi al-Qur’an yang menunjukkan bagaimana teks al-Qur’an diturunkan dalam bentuk retorika dan dialektika dalam sebuah diskursus atau perbincangan yang tidak menampilkan suara yang monofonik, ketika Allah dianggap satu-satunya penutur (speaker). Sebagaimana tergambar dalam beberapa model redaksi yang bersifat dialogis, al-Qur’an menampilkan sebuah paduan suara yang cukup beragam. Dengan melihat diskursus yang menandai proses pewahyuannya, suara al-Qur’an tergolong polifonik. Begitu banyak sumber bunyi yang tergambar dari sebuah redaksi teks al-Qur’an, sehingga perkataan “Aku” atau “Kami” tidak selalu merujuk kepada Tuhan sebagai penutur. Bahkan suara Tuhan sendiri terkadang diwujudkan dalam bentuk orang ketiga, “Dia”, atau juga orang kedua “Engkau”. Identifikasi suara Tuhan dalam bentuk pembicara ketiga kadang-kadang didahului dengan ungkapan “Katakanlah!” yang tidak disebutkan siapa subyeknya. Model perbincangan semacam ini sangat banyak terjadi di dalam al-Qur’an, terutama yang menandai karakter ayat-ayat yang turun pada periode Mekkah.
Redaksi teks yang terekam dalam QS. Al-Ikhlâs, sebagaimana dicontohkan oleh Nasr Abu Zayd menunjukkan akan keikutsertaan 3 macam suara dalam proses pewahyuannya (Abu Zayd 2004:19). Secara literal, terjemahan dari surat itu dapat disebutkan sebagai berikut:
Katakanlah, Dia adalah Allah yang Esa.
Allah yang kekal selamanya.
Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan,
Dan tidak ada satupun yang serupa dengan-Nya.

Dari redaksi surat al-Ikhlas di atas, sesuatu yang menandai keyakinan kaum muslimin menerangkan sebuah penjelasan bahwa subyek yang tidak teridentifikasi ini merupakan suara malaikat Jibril AS, mediator dan utusan Allah yang menyampaikan pesan Allah kepada Muhammad SAW. Sebagai utusan yang membawa pesan Allah, Jibril menjelaskan Kalamullah melalui suara dirinya yang bertindak atas nama Tuhan. Dari sini, suara Tuhan secara tidak langsung (implicit), yang terpancar jelas oleh Muhammad dalam wujud suara malaikat, pada gilirannya harus diumumkan pula kepada khalayak sebagai target akhir penerima pesan ilahi. Penyampaian ini tentu saja melalui suara Muhammad sendiri sebagai seorang manusia. Dengan keikutsertaan ketiga macam suara, maka model diskursus yang berlangsung dalam surat al-Ikhlas bersifat “informatif”.
Al-Qur’an tidak saja menampilkan model diskursus informatif, tetapi terdapat pula model “dialog implisit” dalam bentuk hymne atau ayat-ayat liturgis di mana penuturnya adalah suara manusia, sementara Tuhan digambarkan sebagai komunikan. Contoh terbaik untuk model dialog ini adalah QS. Al-Fâtihah, yang merupakan pembacaan yang sangat jelas (ekslpisit); sementara respon Tuhan bersifat implisit. Oleh karena itu, bagi setiap pembaca disarankan untuk membaca ayat-ayat ini secara pelan-pelan dengan cara berhenti sejenak di setiap akhir ayat guna dapat menerima jawabannya. Dengan kata lain, pembacaan surat ini meliputi proses yang meliputi baik vokalisasi maupun juga proses mendengarkan dengan seksama (sama’) karena pada saat yang sama ketika pembacaan surat al-Fatihah dilakukan di dalam salat, Allah memberikan jawaban bagi permohonan hambanya (Abu Zayd 2004:21). Dari beberapa susunan model diskursus al-Qur’an, seorang peneliti akan menemukan arti penting konteks dalam kajian kitab suci ini.
Sebuah bidang kajian yang mendapatkan perhatian cukup besar dalam upaya ijtihadi setiap penafsir al-Qur’an adalah ilmu munâsabât, yaitu keterkaitan antara bagian-bagian dalam al-Qur’an. Kajian ini juga menyangkut aspek konteks dalam arti keterikatan redaksional maupun makna ditinjau dari tata urutan ayat-ayat dan surat dalam mushaf. Dengan kata lain, jika konteks yang dibicarakan dalam asbâb al-Nuzûl adalah latar belakang sosio-historis yang menandai kronologis ayat berdasarkan turunnya, maka konteks yang diurai dalam ilmu munasabat adalah kronologi teks dalam mushaf (Abu Zayd 1993:179-197). Dalam hal ini keterkaitan redaksional maupun makna dapat dilihat baik antara satu ayat dengan ayat-ayat sesudahnya, kelompok besar ayat-ayat dengan kelompok besar ayat-ayat lainnya, sebuah surat dengan surat lain sesudahnya, atau bahkan bagian akhir sebuah surat dengan bagian pembuka surat sesudahnya. Keterkaitan antar bagian-bagian al-Qur’an dalam susunan redaksional dan maknanya menunjukkan ketinggian gaya bahasa al-Qur’an yang mendukung konsepsi i’jaz al-Qur’ân yang benar-benar datang dari sisi Tuhan, dan tidak bida ditandingi oleh komposisi yang dibuat oleh manusia manapun.

Konteks dalam Hadis dan Fiqh
Arti penting konteks juga berlaku dalam penelitian hadis, di mana sebuah ungkapan, atau perbuatan yang dilakukan oleh Nabi SAW biasanya lahir dari sebuah kejadian yang melatarbelakangi munculnya pernyataan dan amaliah tersebut. Untuk itu, pendekatan kontekstual baik dalam bentuk ulasan tentang setting historis, sosiologis, maupun budaya yang mendasari sebuah tradisi kenabian ataupun diktum agama pada masa pembentukannya di masa-masa sesudahnya menjadi sesuatu yang penting untuk dipertimbangkan dalam menentukan makna dan pemahaman yang bisa diambil darii hadis-hadis di luar susunan redaksionalnya. Konteks dalam hal ini juga menjadi pertimbangan dalam melakukan interpretasi terhadap hadis bagi kepentingan penetapan hukum dalam fiqh Islam.
Dalam proses dan aktivitas penelitian tentang diktum maupun doktrin agama baik yang berasal dari kitab suci maupun tradisi kenabian, penyertaan konteks memiliki peranan cukup penting dalam membentuk karakter dari diktum maupun doktrin tersebut. Lokasi turunnya wahyu, seperti yang membedakan antara kelompok ayat-ayat makkiyah yang turun di Mekkah dan kelompok ayat-ayat madaniah yang turun di Madinah sesudah hijrah, turut membentuk karakter redaksional maupun isi kandungan pesan yang disampaikan yang menandai ciri-ciri umum redaksi masing-masing periodisasi pewahyuan al-Qur’an tersebut. Dalam hal ini, perbedaan penggunaan kata panggilan (munada) dan substansi pesan yang disampaikan juga menandai perbedaan karakter antara dua kategorti historis tadi.
Pertimbangan konteks, atau lebih tepatnya kronologi historis juga berpengaruh terhadap penetapan dan pembatalan hukum dalam kasus nasikh mansukh. Dalam hal ini, bacaan atau hukum yang berlaku lebih awal dibatalkan oleh bacaan atau hukum yang datang belakangan. Konteks yang menjadi latar belakang peristiwa yang menjelaskan turunnya sebuah perintah yang dikandung dalam sebuah ayat al-Qur’an, jika dilihat melalui teksnya secara telanjang melalui tata urutan mushaf semata, maka aspek-aspek kronologis semacam pembatalan hukum sama sekali tidak bisa terdeteksi. Konteks kronologis menjadi kajian yang harus dicermati, sehingga pembacaan terhadap al-Qur’an dengan menyertakan konteks turunnya ayat tersebut dapat dijadikan patokan mana ayat yang turun lebih dulu —yang hukumnya dibatalkan, dan mana yang turun belakangan dan menggantikan hukum yang pertama.

Kesimpulan
Menelusuri konteks melalui pendekatan sejarah, sosiologi, maupun budaya seperti yang ditampilkan Nasr Abu Zayd dalam membedah konsep-konsep dalam karyanya Mafhum al-Nass dan karya-karya sarjana muslim lain merupakan sebuah konsekuensi dari perkembangan kajian agama dalam merespon perkembangan kajian sosiologis dan humaniora melalui pendekatan cultural studies (kajian budaya) yang mulai marak dikembangkan pada akhir abad ke-20. Pendekatan ini dilakukan dengan mengenalkan pemikiran aliran marxisme ke dalam sosiologi, dan sebagiannya melalui artikulasi sosiologi dan displin akademik lain, seperti kritik sastra, maupun disiplin agama. Gerakan ini bertujuan untuk memusatkan analisis terhadap subkultur-subkultur dalam masyarakat kapitalis. Mengikuti tradisi non-antropologi, kajian budaya biasanya memfokuskan kajian konsumsi barang (seperti pakaian, seni, dan literatur). Karena ada perbedaan antara kultur rendah dan kultur tinggi pada abad ke-18-19 yang tidak lagi pantas untuk diaplikasikan pada konsumsi barang yang diproduksi dan dipasarkan secara massal yang menjadi pokok analisis kajian kultur, maka sarjana merujuknya sebagai budaya populer.
Walhasil, apapun pisau bedah yang digunakan dalam meneliti fenomena keagamaan melalui pendekatan kontekstual, pendekatan akademis ini bermuara pada semakin banyaknya titik-titik persinggungan antara agama dan kenyataan dalam kehidupan manusia kontemporer yang membutuhkan metodologi pemecahan masalah yang harus tetap berlandaskan pada semangat universalitas al-Qur’an agar bisa menjadi rahmat bagi semesta alam.

Tinggalkan komentar