Archive for Agustus, 2019

Mensyukuri Nikmat Allah melalui Idul Adha

11/08/2019
  • Khutbah idul adha 1440
    Mensyukuri Nikmat Allah Melalui Idul Adha
    Oleh: M. Anwar Syarifuddin, MA.
    Masjid al-Jamaah Bima Indah Estate Cirebon 11-08-2019
    الله أكبر (9x) الله أكبر كبيرا، والحمد لله كثيرا، وسبحان الله بكرة وأصيلا، لا إله إلا الله والله أكبر،الله أكبر ولله الحمد.
    الحمد لله وحده وصدق وعده ونصر عبده وأعز جنده وهزم الأحزاب وحده .أشهد أن لا إله إلا الله وحده لا شريك له، وأشهد أن سيدنا محمدا عبده ورسوله لا نبي بعده.اللهم فصل علي سيدنا محمد و علي اله وصحبه وسلم. اما بعد.فيا عباد الله أوصيكم ونفسي بتقوى الله فقد فاز المتقون

Kaum muslimin muslimat rahimakumullah
Hari ini tanggal 10 Dzulhijjah 1440 H adalah hari pertama hari raya Idul Adha akan diiringi oleh tiga hari tasyrik hingga besok lusa tanggal 13 Dzulhijjah. Istilah Idul Adha sendiri berasal dari bahasa Arab yang artinya adalah “hari raya menyembelih”. Istilah ini kemudian diadopsi sebagai kata serapan dalam bahasa Urdu, Hindi, bahasa di negeri bagian Assam, Bengal, dan Gujarat di India; juga bahasa Melayu di semenanjung Malaysia dan juga bahasa Indonesia.
Selain itu, hari raya yang kita rayakan hari ini juga dinamai “Idul Kabir” yang artinya Hari Raya Besar (berbeda dengan Idul Fitri yang dikenal dengan Hari Raya Kecil). Menyatakan Idul Adha sebagai Idul Kabir dikenal sebagai tradisi di Yaman, Syria, Afrika Utara (Maroko, Aljazair, Tunisia, Libya dan juga Mesir). Wilayah Nusantara yang sebagiannya merupakan destinasi para pendakwah asal Hadramaut di Yaman, yang sebagian besarnya juga keturunan Rasulullah SAW, juga mengenal tradisi penamaan Idul Adha sebagai Hari Raya Besar atau Raya Agung.
Sementara itu, di wilayah Saudi sendiri dan umumnya wilayah Arab Timur Tengah, Idul Adha lebih dikenal dengan nama Idul Baqarah, Hari Raya Menyembelih Sapi. Sapi di dini disebut sebagai representasi hewan ternak secara umum yang juga meliputi di dalamnya kambing dan domba sebagai binatang ternak yang biasa disembelih sebagai binatang kurban.
Selain itu, Idul Adha juga sering disebut sebagai hari raya haji, seperti yang umum disebut di wilayah semenanjung Malaya, Indonesia, dan Filipina. Sebutan-sebutan yang cukup bervariasi di atas menandai perayaan Idul Adha sebagai momen besar dan agung tidak saja dalam arti dan makna istilah yang disandangnya, tetapi juga kaitan sejarahnya yang memancar jauh sejak sebelum Islam lahir di Arabia. Kita menemukan tradisi berhaji dan kurban yang menandai momen sakral hari raya ini sebagai warisan Nabi Ibrahim AS, bahkan lebih jauh lagi sudah diminta dilakukan oleh anak-anak Adam dalam awal sejarah peradaban umat manusia yang menghuni bumi ini dalam inseden yang melibatkan Qabil dan Habil. Di sinilah kita akan menemukan kebesaran tradisi ini, sesuai dengan nama yang disandangnya.
Hadirin sidang Ied rahimakumullah.
Salah satu bukti yang menandai kebesaran Idul Adha adalah bahwa lantunan takbir, tahlil, dan tahmid pada saat Idul akan Adha berlangsung lebih lama. Jika saat hari raya kecil Idul Fitri lantunan takbir, tahlil, dan tahmid berhenti di hari pertama, mulai dari terbit hilal pada maghrib di awal Syawwal hingga waktu Ashar keesokan harinya, maka lantunan takbir, tahlil, dan tahmid saat Idul Adha tetap berkumandang pada tiap selesai mengerjakan shalat fardu hingga selesai shalat Ashar pada tanggal 13 Dzulhijjah yang menandai akhir hari tasyrik. Terhitung, lantunan takbir, tahlil, dan tahmid akan berkumandang selama 4 hari lamanya. Selama itu pulalah kaum beriman di seseantero bumi mengungkap kebesaran dan keagungan Allah dalam asma yang dikumandangkan sekaligus merupakan ungkapan rasa syukur atas semua nikmat yang dianugerahkan-Nya kepada seluruh makhluk… Allahu akbar, Allahu akbar, Allahu akbar wa lillahil hamd… Gema takbir, tahlil, dan tahmid mengagungkan Allah menandai sebuah pesan bahwa Allahlah yang menjadi sumber pemberi nikmat berlebaran yang kita rasakan bersama-sama hari ini.
Hadirin sidang idul Adha yang dirahmati Allah
Idul Adha sangat erat kaitannya dengan pesta yang menandai kesyukuran atas nikmat Allah yang sudah diberikan kepada kita semua. Sebagian dari teman-teman kita juga yang telah diberikan nikmat oleh Allah dan juga kemampuan, baik pada waktu-waktu lalu, ataupun pada kesempatan tahun ini untuk melaksanakan ibadah haji, rukun Islam yang kelima, maka menyadari wujud nikmat itu menyadarkan kita betapa rasa syukur menjadi hal utama yang selayaknya diperhatikan atas semua nikmat yang dilimpahkan sehingga mereka bisa berangkat menunaikan haji, sementara pada saat yang sama kelompok masyarakat lain masih harus menunggu giliran keberangkatan di tahun-tahun mendatang. Haji merupakan kewajiban sekali seumur hidup bagi seorang muslim yang hanya dapat terlaksana di bulan haji, tidak di bulan-bulan lainnya. Setelah wukuf di Arafah pada siang hari kemarin tanggal 9 Dzulhijjah, maka di hari ini dan beberapa hari mendatang para hujjaj sudah akan menyempurnakan rangkaian ibadah haji mereka.
Sebagai bagian dari tradisi perayaan kurban, Idul Adha juga mengingatkan kepasa kita bahwa sebagian dari kita diberikan kemampuan untuk melaksanaan ibadah kurban. Bahwa sebagian kalangan masyarakat diberikan kemampuan menyediakan hewan kurban, untuk kemudian disembelih pada hari raya dan tiga hari yang mengikutinya. Meneladani tradisi yang diwariskan oleh Ibrahim AS dengan menyembelih binatang ternak, bukan dengan mengorbankan nyawa manusia seperti yang menjadi kebiasaan awal umat manusia. Sebuah pelurusan kesalahan yang sebelumnya terjadi ketika Habil terbunuh saat berkelahi dengan Qabil. Sudah benar bahwa Habil berkurban dengan binatang ternak yang digembalakannya ketika ia memilih binatang yang paling baik dan paling besar, sehingga kurban persembahannya diterima; sementara Qabil berkurban dengan buah-buah busuk yang dihasilkan dari kebunnya, sehingga kurbannya ditolak. Kesalah-pahaman berlangsung saat darah Habil terpercik yang tewas berkelahi kemudian dianggap bahwa kurban harus dengan mengorbankan nyawa, seperti tradisi kurban persembahan yang masih berlangsung pada suku-suku primitif. Ibrahim yang diminta Allah untuk berkurban dengan menyembelih Ismail AS, kemudian diganti oleh Allah dengan kibas yang sangat besar. Ibrahim AS diutus untuk mengoreksi kesalahan masa lalu umat manusia, ketika kurban cukup dengan mengalirkan darah binatang ternak, bukan darah anak manusia. Binatang ternak yang kita sembelih untuk kurban pada kesempatan Idul Adha menjadi salah satu tanda dari ungkapan ketaatan kepada Allah SWT, juga ungkapan rasa syukur yang sepantasnya dipanjatkan karena kita selaku hamba Allah sudah mendapatkan nikmat lebih atas semua bentuk kemurahan Allah SWT kepada hamba-hambanya. Hal ini sejalan dengan pesan dalam firman Allah di dalam QS al-Kautsar ayat 1-2.

“Sungguh Aku telah memberimu nikmat yang banyak, maka tunaikanlah salat untuk Tuhanmu dan berkurbanlah.”
Kata al-Kautsar secara umum dimaknai sebagai nikmat yang banyak. Imam al-Baghawi menjelaskan makna ayat ini dari sebuah riwayat Ibn ‘Abbas bahwa al-Kautsar bermakna “nikmat yang sangat banyak yang dianugerahkan oleh Allah kepada Rasulullah SAW (al-khair al-katsir alladzi a’ṭāhullāh iyyāhu). Dari sebuah hadist riwayat Anas diceritakan bahwa ketika menerima turunnya surah ini Rasulullah SAW tersenyum. Lalu sahabat bertanya, apa sebab Rasulullah tersenyum-tersenyum. Beliau menjawab bahwa ia baru saja menerima wahyu sambil membacakan tiga ayat dalam QS al-Kautsar ini, beliau kembali bertanya kepada para sahabat jika mereka mengetahui apa itu al-Kautsar? Para sahabat menimpali bahwa hanya Allah dan Rasulnya saja yang tahu. Lalu Rasulullah pun menerangkan bahwa al-Kautsar adalah sungai yang dijanjikan akan diberikan kepadanya, yang memiliki kebaikan yang sangat banyak; itulah telaga yang akan diberikan bagi umatnya di hari Kiamat (fainnahu nahrun wa’adanihi rabbi –azza wa jalla—alaihi khayrun katsirun, huwa ḥawḍun tarudu ‘alaihi ummati yaumal qiyamah). Masih dalam penjelasan tafsir Ma’alim al-Tanzil ‘an Haqā’iq al-Ta’wil karya al-Imam al-Baghawi, menurut pandangan Sa’id bin Jabīr, sungai yang berada di surga memang merupakan salah satu dari nikmat yang Allah berikan kepada Rasulullah SAW.
Hadirin sidang shalat idul adha yang dirahmati Allah
Dalam tafsir ayat selanjutnya Faṣalli lirabbika wanḥar… Muhammad bin Ka’ab sebagaimana disitir al-Baghawi menyatakan bahwa banyak orang-orang banyak melaksanakan shalat bukan karena Allah. Begitu juga mereka melakukan kurban bukan karena Allah. Dengan ayat ini Allah memerintahkan agar ibadah shalat dan juga ibadah kurban dilakukan semata-mata karena Allah saja. Niat yang tulus sudah sepantasnya ditujukan hanya kepada Allah saja, lillāhi ta’ala, utamanya dalam menjalankan ibadah, karena hanya Allah saja yang pantas menerima ibadah umat manusia sebagai hamba. Di sinilah Allah mengingatkan kepada kita semua bahwa seperti Nabi Muhammad SAW yang sudah dianugerahi dengan nikmat yang sangat banyak, termasuk janji Allah untuk memberikan telaga kautsar di surga nanti. Semua nikmat itu sudah sepatutnya disyukuri dengan meneladani prilaku Rasulullah SAW. Kita dianjurkan untuk beribadah kepada Allah secara tulus ikhlas lillahi ta’ala, bukan untuk kepentingan lain-lainnya. Itulah salah satu makna umumnya. Namun begitu, secara khusus Ikrimah menjelaskan bahwa perintah untuk menunaikan shalat dan kurban dalam ayat yang kedua ini dimaknai sebagai perintah khusus untuk melaksanakan shalat idul adha dan menyembelih binatang yang akan dijadikan sebagai kurban pada hari itu. Masih ada banyak tafsiran lain yang menjelaskan makna al-Kautsar dalam ayat ini, seperti al-Qur’an, juga agama Islam, atau ada pula yang memaknai al-Kautsar sebagai umat yang sangat banyak dan masih banyak lagi. Kesemuanya menandai nikmat Allah yang sudah sangat banyak sekali diberikan kepada Nabi Muhammad SAW, dan kita warisi hingga hari ini.
Hadirin sidang ied rahimakumullah.
Bila kita mengaitkan ayat yang pertama sebagai sebab bagi terwujudnya amar/perintah yang tertuang di ayat yang kedua dalam surah al-Kautsar ini, atau dengan kata lain perintah salat dan berkurban karena Allah menjadi ungkapan syukur atas nikmat yang sudah selayaknya kita hatrukan kepada Allah; maka marilah kita meneladani perilaku Rasulullah SAW dalam mengambil hikmah yang bisa diambil dari dua ayat dalam surah al-Kautsar di atas. Nikmat besar yang kita terima sebagai bentuk rahman dan rahim Allah kepada para hamba-Nya yang beriman sudah sepantasnya dijadikan sebagai pengingat bagi semua kita sekalian yang hadir hari ini. Melalui momen idul Adha hari ini, mari kita mengingat-ingat nikmat mana saja yang sudah diberikan Allah SWT kepada kita sekalian, mulai dari keluarga yang kita punya, dan kekayaan yang diberikan Allah kepada kita dan seluruh keluarga. Apakah semua yang kita dapatkan sudah disyukuri? Secara legal maupun etis, ibadah apa saja yang sudah kita lakukan untuk Allah secara tulus? Dari perspektif Allah sebagai Tuhan yang Maha Kuasa, Allah memang tidak membutuhkan balasan dan sykur kita atas semua nikmat yang sudah diberikan kepada hamba-hamba-Nya, lantaran Allah Maha Kaya (al-Ghaniy), Maha Berdiri sendiri (Qiyam binafsihi), sehingga tidak membutuhkan bantuan makhluk sedikitpun. Tetapi kewajiban yang melekat pada diri kita umat manusialah —dan juga bangsa jin— sebagai hamba yang diseru untuk senantiasa beribadah kepada-Nya. Allah berfirman, wa mākhalaqtul jinna wal insa illa liya’buduni (Tidak kuciptakan jin dan manusia, kecuali agar mereka menyembah-Ku).
Di sini, dalam kaca pandang hukum, beribadah merupakan kewajiban bagi makhluk dan hak bagi Allah SWT. Sangat nampak manusialah yang memerlukan ibadah sebagai wujud tindak ketaatan agar ia diakui sebagai Hamba Allah dan menjadi hak Allah untuk memberikan balasan yang setimpal di akhirat nanti sebagai imbal baliknya. Dalam perspektif etika, ibadah yang dilakukan manusia menjadi tindak kepatutan yang sudah seharusnya dilaksanakan tanpa memandang balasan Allah atas ibadahnya, apalagi jika memang ia sudah benar-benar diberikan begitu banyak karunia dan nikmat yang tidak bisa terhitung banyaknya. Dengan demikian, pemberian Allah yang begitu banyak tersebut benar-benar disyukuri keberadaannya sebagai bentuk penerimaan dan ungkapan terima kasih yang sudah sepantasnya dilakukan seorang hamba. Di sini, kufur nikmat atau keengganan untuk bersyukur atas nikmat anugerah pemberian Allah bukan saja menjadi bentuk tindakan yang tidak etis, tetapi juga tidak bernilai secara teologis, karena kalau bukan kepada Allah, maka kepada siapa lagi ungkapan syukur itu dipanjatkan? Karena bukankah yang pantas menerima ibadah dan juga semua pujian hanyalah Allah semata-mata, sehingga ketika manusia berterima kasih kepada selain Allah, maka hal itu merupakan tindakan yang keluar dari rel tauhid yang lurus.
Allahu akbar allahu akbar walillahil hamd
Allahu akbar, Allah Maha besar, dan bagi Allah saja segala puji dan juga syukur kita panjatkan. Saya selaku khatib yang berkewajiban untuk saling menasihati dalam takwa dan kebenaran hanya ingin mengingatkan bahwa karena sudah kita diberikan kemampuan oleh Allah pada saat sekarang ini, marilah kita tunaikan kewajiban-kewajiban yang melekat pada diri kita. Seperti saudara-saudara kita yang sudah berhaji, atau mereka yang tengah berkumpul sekarang di tanah suci, sudahkan kita yang belum menyempurnakan rukun Islam kelima mencanangkan niat yang kuat untuk pergi melaksanakan haji mengunjungi Baitullah?
Haji itu wajib dilakukan saat kita sudah mampu. Tanyakan lagi pada diri kita mulai saat ini, apakah kita sudah mampu dan memiliki ongkos untuk pergi haji dan membiayai mereka yang ditinggalkan sementara di tanah air? Jika ya, maka sebaiknya mendaftar segera karena waiting list yang ada sudah sangat panjang. Kewajiban kita adalah berupaya, biarkan Allah yang menentukan kapan giliran kita akan diberikan. Atau jika kita masih punya kemampuan lebih, dan mampu membayar 10 kali lipat dari ongkos naik biasa, kita bisa mendaftar haji dengan ONH plus. Jika kita memang mampu membayar ongkosnya, maka kita sudah terkena taklif kewajiban itu, maka sebaiknya ditunaikan saja segera. Karena kewajiban berhaji melekat pada saat kita mampu membayar ongkosnya, berapapun itu besarnya. Jika kekayaan yang dimiliki bisa mengongkosi kita untuk keberangkatan dalam waktu dekat, lalu mengapa kita masih mau menunggu? Di sini, jadikan haji sebagai prioritas karena tanpa melaksanakan rukun kelima, maka keislaman kita tentu tidak akan sempurna, kalaulah sebenarnya kita mampu menunaikannya.
Kedua, dalam meramaikan Idul Kurban, bagi yang memiliki rizki berlebih, maka bisa membeli kambing untuk berkurban, minimal satu untuk satu keluarga. Ini menjadi sunnah secara hukum, tetapi merupakan kewajiban etis, sekali lagi saya katakana kewajiban etis, karena kita sudah mendapatkan nikmat yang sudah sangat banyak kita terima. Dan dengan nikmat yang kita terima itu, kita cukup membayar seekor kambing atau domba untuk kurban. Yang lebih penting adalah semua di lakukan lillahi ta’ala sebagai ungkapan rasa syukur kita kepada Allah SWT atas nikmat yang sudah kita terima. Dengan syukur itu, Allah menjamin akan menambah nikmat yang sudah diberikan-Nya lebih banyak lagi. Tetapi kalau tidak mau bersyukur, tentu kita akan berhadapan dengan adzab Allah yang pedih karena kita tidak mau berterima kasih kepada-Nya. Semoga kita senantiasa barada dalam jalan terang kebenaran dan hidayah-Nya dan dijauhkan dari siksa-Nya.
بارك الله لي ولكم في القران العظيم ونفعني و ايكم بما فيه من الايات والذكر الحكيم و تقبل مني و منكم تلاوته انه هو السميع العليم اقول قولي هذا واستغفر الله لي و لكم و لسائر المسلمين والمسلمات والمؤمنين والمؤمنات فاستغفروه انه هو الغفور الرحيم